Senin, 21 Oktober 2013

Membincang Dialektika Tafsir Kontemporer

 Dinamika persoalan interpretasi Al-Qur’an menjadi pembahasan serius di kalangan para Mufassir (Ahli Tafsir). Bahkan mereka seringkali berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Sangatlah wajar bila perbedaan ini terjadi karena situasi dan kondisi yang dialami berbeda.

Menurut para mufassir modern kontemporer yang di butuhkan saat ini adalah model dan metodologi baru dalam pembacaan dan pemahaman atas Al- Qur’an agar kitab suci umat islam ini benar-benar menjadi kitab petunjuk yang akan sentiasa relevan untuk setiap zaman dan tempat serta mampu merespons setiap problem sosial keagamaan yang dihadapi oleh umat manusia. Ini mengandung arti bahwa paradigma pemahaman atas Al-Qur’an harus di geser dan di ubah dari paradigma tekstual menjadi paradigma kontekstual.

Buku yang ditulis oleh Dr. Abdul Mustaqim ini merupakan disertasi yang mengupas model dan metodologi pembacaan dan penafsiran Al-Qur’an yang ditawarkan oleh Fazlurrahman dan Muhammad Syahrur.

Penulis mengawali kajianya dengan memotret perkembangan sejarah tafsir sejak era Nabi hingga era modern kontemporer dengan menggunakan perspektif the history of ideanya Ignaz Goldziher. Dari hasil penelusuran, penulis menemukan fakta bahwa telah terjadi pergeseran paradigma dalam sejarah penafsiran Al-Qur’an yang dapat di petakan menjadi tiga babakan atau periodisasi penafsiran Al-Qur’an dengan basis penalaranya masing-masing.

Pertama, periode formatif, yakni penafsiran Al-qur’an yang terjadi atau berlangsung di masa nabi dan para sahabat hingga era pasca sahabat, pada periode ini nalar yang di gunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah nalar kuasi kritis. Kedua, periode afirmatif, yakni penafsiran Al-Qur’an yang terjadi pada masa pertengahan islam, yang mendasarkan penafsiran pada nalar ideologis. Ketiga, periode reformatif, yakni penafsiran Al-Qur’an yang terjadi pada masa abad modern kontemporer. Periode ini nalar yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah nalar kritis.

Berdasarkan ketiga periodesasi yang di paparkan penulis, Rahman dan Syahrur di kategorikan sebagai Mufassir era modern kontemporer yang menggunakan nalar kritis dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Kritisisme kedua tokoh ini terlihat jelas dari kritik-kritiknya yang tajam terhadap produk penafsiran Ulama’ terdahulu yang cenderung bersifat tekstualis dan dogmatis sehingga menjadikannya tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Atas ketidak puasan Rahman dan Syahrur terhadap model dan produk penafsiran ulama’ terdahulu, keduanya menawarkan metodologi baru dalam membaca dan menafsirkan Al-Qur’an.

Fazlur Rahman meyakini bahwa Al-Qur’an pasti mampu menjawab problem kekinian jika di baca dengan pendekatan kontekstual. Menurutnya, jika Al-Qur’an dipahami secara komprehensif, holistik, dan kontekstual maka ia akan mampu menjadi solusi alternatif dalam menjawab problem modernitas. (hal 120).

Untuk menghindari adanya penafsiran parsial dan pemaksaan gagasan non Qur’ani dalam al-Qur’an Rahman memandang penting dilakukan Rekontruksi metodologi penafsiran Al-Qur’an. Dalam hal ini, Rahman menawarkan metode hermeneutika double movement , yaitu proses interpretasi yang melibatkan gerakan ganda, dari situasi sekarang menuju situasi di mana Al-Qur’an diturunkan, untuk kemudian kembali lagi ke masa sekarang.( hal 178).

Sementara itu, Muhammad Syahrur menggunakan metode ijtihad yang populer dengan teori limit atau disebut batas (nazhariah al-hudud). Dengan teori ini, ayat-ayat Al-Qur’an akan dipahami sebagai batasan-batasan yang memungkinkan fleksibilitas hukum karena di sutu ada batas minimal dan batas maksimal. Seorang Mufassir dipersilahkan melakukan ijtihad secara kreatif dan dinamis seiring dengan putaran zaman dan tempat dengan syarat ijtihadnya itu masih berada dalam wilayah hududullah (batasan hukum Allah).

Teori batas Syahrur mempunyai kontribusi besar bagi perkembangan metodologi penafsiran Al-Qur’an khususnya yang terkait dengan ayat-ayat hukum. Di antaranya adalah ayat hukum yang selama ini di anggap telah final dan pasti tanpa ada alternatif pemahaman lain, ternyata mempunyai kemungkinan untuk diinterpretasikan secara baru. Kemudian mufassir akan mampu menjaga sakralitas teks, tanpa harus kehilangan kreatifitasnya dalam melakukan ijtihad untuk membuka kemungkinan interpretasi. (hal 187).

Dengan mencermati model penafsiran Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur, dapat di katakan bahwa implikasi epistemologi tafsir yang dikembangkan oleh keduanya adalah bahwa penafsiran Al-Qur’an harus dapat berperan sebagai agen perubahan sosial. Perubahan itu sendiri antara lain di awali dengan mengubah sistem teologi yang lebih dinamis, terbuka dan kritis.

Pandangan penafsiran yang dilakukan Rahman dan Syahrur pada dasarnya sama, keduanya sepakat bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang akan selalu kompatibel untuk segala ruang dan waktu. Untuk itu diperlukan penafsiran atau pembacaan yang kreatif terhadap Al-Qur’an. Sehingga dapat menemukan pesan-pesan eternal Al-Qur’an secara tepat dan mampu menjadi solusi yang berkembang di masyarakat terutama dalam permasalahan sosial keagamaan umat islam di era kontemporer.



Tolak ukur kebenaran tafsir yang dilakukan Rahman dan Syahrur juga sama. Pertama bersifat Koherensi, dalam arti bahwa tafsir dapat dikatakan benar sejauh ada konsistensi logis filosofis antara proposisi-proposisi yang dinyatakannya, kedua bersifat korespondensi, dalam arti bahwa produk penafsiran harus sesuai dengan kenyataan empiris di lapangan. Ketiga, bersifat pragmatis, dalam arti bahwa produk penafsiran dianggap benar selagi secara fungsional dapat menjadi solusi alternatif bagi pemecahan problem sosial keagamaan umat islam.(hal. 330).

Buku setebal 366 halaman ini sangat bagus untuk dikaji dan di jadikan rujukan dalam referensi kajian tafsir kontemporer. Karena, didalamnya memuat interpretasi tafsir yang di tawarkan oleh tokoh kritis dan kontroversial. Dengan membaca buku ini akan mendapat pencerahan sehingga Al-Qur’an akan relevan diterapkan sesuai ruang dan waktu.


Judul buku : Epistemologi Tafsir Kontemporer
Penulis : Dr. Abdul Mustaqim
Penerbit : LKiS
Cetakan : II, 2012
Tebal : xx + 366 halaman
ISBN : 978-979-1283-21-2
Peresensi: M. Hanifan Muslimin, Pegiat CSS MoRA Walisongo, Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang

Tafsir Kontemporer


BAB I
PENDAHULUAN
       A.    Latar Belakang Masalah
Sebagaimana kita ketahui bahwa Al-Qur’an merupakan Landasan pokok yang utama umat Islam, dengannya semua kaum muslim berpijak baik dalam urusan duniawi maupun ukhrowi, dengannya kaum muslim berpijak baik dalam urusan horizontal maupun vertical, dengannya kaum muslim berpijak baik dalam urusan hidup secara individual maupun sosial. Namun Al-Qur’an adalah kalam Allah Subhanahu wata’ala yang tidak bisa dipahami begitu saja, butuh ‘ilmu untuk sampai kepada pemahaman terhadap maknanya, semua ilmu yang dibutuhkan itu tercakup dalam satu istilah “Ulum at-Tafsir”, Ilmu tafsir. Penggunaan tafsir (penafsiran terhadap al-AQur’an) ini telah ada sejak masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in, Tabi’uttabi’in, hingga sekarang dan akan berlangsung sampai yaumul akhir. Seiring dengan adanya proses perkembangan zaman, yang mungkin bahkan pasti akan banyak perubahan situasi dan kondisi, kebudayaan manusia semakin maju, teknologi semakin canggih, begitupun transformasi informasi yang sangat cepat. Hal ini menjadi tantangan khususnya bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan dengan tetap memelihara nilai-nilai keislamannya. Maka, agar Al-Qur’an mampu menyesuaikan dengan zaman, atau zaman yang harus sesuai dengan Al-Qur’an, butuh pemahaman atau penafsiran yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Penafsiran yang disesuaikan dengan konteks social ini sering disebut tafsir kontekstual. Tafsir kontekstual ini mulai dikenal setelah munculnya ulama-ulama kontemporer, yang menampakan diri sebagai ulama pembaharu. Penafsiran secara kontekstual pada saat ini sering disebut dengan tafsir kontemporer.          
      
      B.     Rumusan Masalah
Dari uraian di atas ada beberapa hal yang menjadi permasalahan, yang akan  menjadi tema sentral pembahasan pada makalah ini.
1.      Untuk lebih memahami pembahasan mengenai tafsir kontemporer, maka hal yang mendasar yang harus dipahami lebih awal ialah apa pengertian Tafsir Kontemporer itu? Dan apa yang membedakannya dengan penafsiran sebelumnya? Atau lebih mengkrucut lagi apa yang menjadi ciri khasnya?
2.      Jika makna sudah dipahami, maka proses pemahaman selanjutnya ialah mengenai proses, yakni bagaimana proses sejarah tafsir Kontemporer ini? Dan apa yang mendasari kemunculannya?
      
      C.    Tujuan Penulisan
Dengan mengacu pada permasalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini ialah:
1.      Mampu memahami pengertian Tafsir Kontemporer baik dari segi Lughawi maupun istilahi, selanjutnya mampu membedakannya dengan tafsir-tafsir sebelumnya serta mengetahui hal yang menjadi ciri khasnya.
2.      Mampu memahami proses perkembangan sejarah Tafsir kontemporer, serta mengetahui hal-hal yang menjadi penyebab kemunculannya.

BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN DAN SEJARAH TAFSIR KONTEMPORER
      A.    Pengertian Tafsir Kontemporer
Ada dua kata yang terkandung dalam kalimat tersebut, yakni tafsir dan Kontemporer. Secara etimologi, Tafsir berasal dari bahasa Arab تفسير atau berasal dari kata ا فسرفسر artinya memeriksa-memperlihatkan, atau bermakna kata الايضاح والشرح penjelasan atau komentar.[1] Sedangkan secara terminology tafsir adalah penjelasan terhadap kalamullah atau menjelaskan lafazh-lafazh Al-Qur’an dan pemahamannya.[2]  
Lebih jelas lagi, mari kita perhatikan beberapa terminologi dari beberapa ulama:[3]
1.      Menurut Syekh al-Jazairi dalam Shahih at-Taujih
“Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafazh yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafazh sinonimnya atau makna yang mendekatinya atau makna yang mendekatinya, atau engan jalan mengemukakan salahsatu dilalah lafazh tersebut”
2.      Menurut az-Zarkasyi
“Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, serta menyimpulkan kandungan-kandungan hokum dan hikmahnya.”
Jadi Tafsir al-Qur'an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur-an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur-an dan isinya.
Kata selanjutnya ialah Kontemporer, dalam kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna pada waktu yang sama, semasa, sewaktu, pada masa kini, dewasa ini.[4]
Maka dapat disimpulkan bahwa Tafsir Kontemporer ialah ‘Tafsir atau penjelasan ayat Al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini’. Pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian tajdid yakni ‘usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat.[5]
 
      B.     Sejarah Perkembangan Tafsir Kontemporer
Segala sesuatu yang berkembang tentunya memiliki proses perubahan bentuk atau hanya perubahan sifat-sifatnya. Sebagaimana Al-Qur’an, bentuknya memang tidak berubah karena ia merupakan “teks baku” atau “teks Mati” seiring berhentinya proses pewahyuan, sehingga tidak lagi dapat berkembang guna menjawab persoalan kehidupan manusia sebagaimana terjadi pada saat proses pewahyuan. Namun, makna yang terkandung didalamnya akan tetap sejalan dengan perkembangan zaman, karena sebagaimana kita yakini bahwa Al-Qur’an ialah Rahmatan lil’alamin, rahmat bagi semua manusia bahkan semua makhluk yang ada di muka bumi. Tentunya tidak hanya dilihat dari sisi  kata rahmatan lil’alamin, namun juga perlu dilihat dari sisi proses pen-sejalanannya dengan perubahan zaman. Ini tiada lain adalah metode pemaknaan (penafsiran) terhadap ayat-ayat al-Qur’an sendiri dengan tetap mengacu pada aturan-aturan penafsiran yang telah disepakati ulama. Model penafsiran seperti ini disebut dengan tafsir kontekstual. Penafsiran kontekstual ayat sebetulnya sudah ada sejak masa Islam awal bahkan pada zaman Nabi Muhammad SAW. Maka penafsiran kontekstual dipakai oleh muslim salaf  (klasik) dan Muslim Khalaf (Kontemporer).
Selanjutnya akan kita bahas beberapa tinjauan tentang sejarah perkembangan tafsir ini yakni dari segi Corak penafsiran, Kodifikasi Tafsir dan terakhir ditinjau dari metode penafsiran
1.      Perkembangan Tafsir ditinjau dari Corak Penafsiran
1.1. Masa Klasik (salaf)
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa proses pewahyuan berlangsung, nabi Muhammad SAW sebagai penafsir atau mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur’an terutama yang bersifat samar, hal ini berlangsung sampai wafatnya beliau, namun harus kita akui bahwa riwayat-riwayat tentangnya tidak sampai kepada kita atau memang penafsiran-penafsiran beliau tidak mencakup seluruh Al-Qur’an. Sehingga sepeninggal Rasulullah para sahabat menafsirkan Al-Qur’an melalui Ijtihad merka sendiri terutama sahabat yang memiliki kemampuan dibidang itu seperti: 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.[6]
Selanjutnya ada pula sahabat yang menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an terutama sejarah atau kisah-kisah para nabi yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada Ahlul Kitab yang telah memeluk Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang menjadi cikal bakal Israiliyat.[7]
Para sahabat yang tersebut diatas mempunyai murid-murid dari kalangan tabi’in, yang kemudian lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dikalangan tabi’in seperti (a) Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas; (b) Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka'ab; dan (c) Al-Hasan al-Bashriy, Amir al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasulullah SAW, penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi al-Ma'tsûr. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
1.2. Masa Kontemporer (Khalaf)
Setelah berakhirnya periode pertama sekitar tahun 150 H, maka mulailah periode selanjutnya yang diawali dengan proses perkembangan hadits yang cepat, saat itu bermunculan hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.
Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: (a) Corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Quran di bidang ini. (b) Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu. (c) Corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. (e) Corak selanjutnya yakni lebih terfokus pada sastra budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar. Salah satu tokoh corak ini ialah Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M).[8]  
2.      Kodifikasi Tafsir
Kalau yang digambarkan di atas tentang sejarah perkembangan Tafsir dari segi corak penafsiran, maka perkembangan dapat pula ditinjau dari segi kodifikasi (penulisan), hal ini dapat dilihat dalam tiga periode: Periode I, yaitu masa Rasulullah SAW, sahabat, dan permulaan masa tabi'in, di mana Tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan. Periode II, bermula dengan kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (99-101 H). Tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis-hadis, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis, walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi al-Ma'tsur. Dan periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab Tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh al-Farra (w. 207 H) dengan kitabnya yang berjudul Ma'ânî al-Qur'an. 
3.    Metode Tafsir
Walaupun disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan Kitab-kitab Tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat al-Quran secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushhaf
Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk al-Quran terpisah-pisah, serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Memang satu masalah dalam al-Quran sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat. Ambillah misalnya masalah riba, yang dikemukakan dalam surat-surat al-Baqarah, Ali 'Imran, dan ar-Rûm, sehingga untuk mengetahui pandangan al-Quran secara menyeluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat yang berbeda-beda itu.
Disadari pula oleh para ulama, khususnya asy-Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy.
Namun apa yang ditempuh oleh Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk al-Quran dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode mawdhu'iy gaya Mahmud Syaltut di atas.
Dengan demikian, metode mawdhu'iy mempunyai dua pengertian: Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Quran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.

DAFTAR PUSTAKA
Kamus Besar Bahasa Indonesia Digital v1.3 
A.W Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap, Bandung: Pustaka Progresip, 1997.
Dr. M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998
D.R. Rosihon Anwar, M. Ag., Ulum Al-Qur’an, Bandung: CP PUSTAKA SETIA, 2010.
http.sejarah perkembangan tafsir_Dr.M. Quraisy Shihab. diunduh 27-09-2012


[1] A.W Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap, (Pustaka Progresip, 1997) hal. 1005
[2] Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-Mufashirun, (Kuwait: Daar al-Dakwah, 1405) hal. 8 (google com.)
[3] D.R. Rosihon Anwar, M. Ag., Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CP PUSTAKA SETIA, 2010), hal. 210
[4] …….., Soft war KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) v1.3
[5] Dr. M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998) hal. 93
[6] Ibid. hl. 71
[7] Ibid.
[8] Ibid., hl. 73

Aliran-Aliran Tafsir Madzahibut Tafsir Dari Periode Klasik Hingga Kontemporer

 Resensi Buku Tafsir

Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia mempunyai karakteristik yang terbuka untuk ditafsirkan. Ini dapat dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an sebagai respon umat islam dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti atau pun menoton, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam madzhab dan corak dalam penafrsiran al-Qur’an

Lahirnya madzahibut tafsir sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan sejarah, sebab tiap generasi ingin selalu “mengkonsumsi” dan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup, bahkan kadang-kadang sebagai legitimasi bagi tindakan dan prilakunya. Apalagi para mufassir ketika menafsirkan al-Qur’an tidak bisa lepas dari pengaruh kondisi sosio-kultural dan situasi politik dimana ia tinggal. Disamping itu, perbedaan kecenderungan dan disiplin ilmu yang memiliki para mufassir sangat berpengaruh terhadap hasil penafsiran, aplikasinya memunculkan pluralitas penafsiran al-Qur’an, dimana pluralitas itu justru menunjukkan adanya kekayaan khazanah pemikiran umat islam.

Madzahibut Tafsir adalah suatu hasil pemahaman manusia terhadap Al-qur’an terhadap yang dilakukan dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu yang diplih oleh seorang mufassir, yang dimaksudkan untuk memperjelas suatu makna teks ayat-ayat al-Qur’an. Sudah barang tentu ketika al-Qur’an ditafsirkan dengan menggunakan metode dan pendekatan tertentu, misalnya pendekatan filsafat, maka akan melahirkan produk penafsiran yang bercorak filosofis.

Jika al-Qur’an ditafsirkan menggunakan pendekatan sufistik, maka akan menghasilkan tafsir kental dengan aroma sufistiknya. Dan juga jika pendekatannya menggunakan analisis gender, maka bias patriakhinya relative akan sangat minimal dan nuansa kesetaraan gendernya cenderung akan lebih mengemuka. Dari sinilah muncul aliran-aliran tafsir yang istilahnya sering disebut dengan madzahib at-tafsir.

Berbicara masalah mdzhab-madzhad tafsir (madzahib at-tafsir) yang sudah berkembang selama ini, ternyata para ulama berbeda-beda dalam memetakannya. Ada yang membagi berdasarkan periodisasinya atau kronologi waktunya, sehingga menjadi madzhab tafsir periode klasik, pertengahan, modern atau kontemporer. Ada pula yang berdasarkan kecenderungannya, sehingga muncul madzhab teologi mufassirnya, sehingga muncul istilah tafsir sunni, mu’tazili, syi’i, dan lain sebagainya. Ada pula yang melihat dari sisi perspektif atau pendekatan yang dipakainya, sehingga muncul istyilah tafsir sufi, falsafi, fiqhi, ‘ilmi, adabi al-ijtima’i dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang melihat dari perkembangan pemikiran manusia, sehingga mazhab tafsir itu dapat dipetakan menjadi mazhab tafsir periode mitologis, ideologis dan ilmiah.
Pembagian madzhab penafsiran menjadi tiga periode yaitu, klasik, pertengahan dan kontemporer agaknya didasarkan atas episteme dan paradigma yang mendasari masing-masing periode tersebut. Hal ini mengisyaratkan bahwa system dan pola penafsiran masing-masing periode itu tidak lepas dari perkembangan pemikiran manusia.

Pada periode klasik penafsiran atas al-Qur’an cenderung  bersifat mistis artinya disitu tidak ada kritisisme dalam menerima sebuah tafsir. Jadi, seolah-olah tafsir Nabi dan para sahabat diterima begitu saja hingga nyaris tanpa kritis. Sementara tafsir pada periode pertengahan sebagai kelanjutan periode sebelumnya, meski sudah ada sedikit nuansa kritisisme, namun masih menunjukkan wajah yang ideologis, sebab disitu pembelaan terhadap madzhab yang dianut oleh mufassirnya yang sangat kental mewarnai tafsirnya. Artinya tafsir-tafsir yang muncul pada masa abad pertengahan sarat dengan kepentingan-kepentingan ideologis dan politik. Berbeda dengan tafsir yang muncul pada periode kontemporer dimana penafsiran  atas ayat-ayat al-Qur’an memiliki kecenderungan ilmiah dan sudah diwarnai oleh pendekatan hermeneutis lebih bersifat kritis filosofis.

Pada masa madzahibut tafsir periode klasik, yaitu pada masa nabi dan sahabat serta tabi’in. Dapat dikatakan bahwa pertumbuhan tafsir itu sejak al-Qur’an itu sendiri diturunkan. Sebab begitu al-Qur’an diturunkan kepada manusia, sejak itu pula beliau melakukan tafsir dalam pengertian yang sederhana, yakni memahami dan menjelaskannya kepada para sahabat. Setelah beliau kembali ke haribaan Allah, maka para sahabat beliau yang mendalami Kitabullah dan yang telah menerima tuntunan serta petunjuk dari beliau. Mereka terpanggil untuk ambil bagian dalam menjelaskan dan menerangkan dan menjelaskan apa saja yang mereka ketahui dan mereka pahami mengenai al-Qur’an.

Tafsir sahabat dianggap berakhir dengan meninggalnya tokoh-tokoh sahabat yang dulunya menjadi guru dari para tabi’in dan digantikan dengan tafsir tabi’in. Penafsiran Rasulullah dan para sahabat yang telah mencakup semua ayat al-Qur’an dan hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami orang-orang yang semasa

Referensi :
1. Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, Yogyakarta, Kreasi Wacana,2005.