Dinamika persoalan interpretasi Al-Qur’an menjadi pembahasan serius
di kalangan para Mufassir (Ahli Tafsir). Bahkan mereka seringkali
berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Sangatlah wajar bila perbedaan
ini terjadi karena situasi dan kondisi yang dialami berbeda.
Menurut para mufassir modern kontemporer yang di butuhkan saat ini
adalah model dan metodologi baru dalam pembacaan dan pemahaman atas Al-
Qur’an agar kitab suci umat islam ini benar-benar menjadi kitab petunjuk
yang akan sentiasa relevan untuk setiap zaman dan tempat serta mampu
merespons setiap problem sosial keagamaan yang dihadapi oleh umat
manusia. Ini mengandung arti bahwa paradigma pemahaman atas Al-Qur’an
harus di geser dan di ubah dari paradigma tekstual menjadi paradigma
kontekstual.
Buku yang ditulis oleh Dr. Abdul Mustaqim ini merupakan disertasi
yang mengupas model dan metodologi pembacaan dan penafsiran Al-Qur’an
yang ditawarkan oleh Fazlurrahman dan Muhammad Syahrur.
Penulis mengawali kajianya dengan memotret perkembangan sejarah
tafsir sejak era Nabi hingga era modern kontemporer dengan menggunakan
perspektif the history of ideanya Ignaz Goldziher. Dari hasil
penelusuran, penulis menemukan fakta bahwa telah terjadi pergeseran
paradigma dalam sejarah penafsiran Al-Qur’an yang dapat di petakan
menjadi tiga babakan atau periodisasi penafsiran Al-Qur’an dengan basis
penalaranya masing-masing.
Pertama, periode formatif, yakni penafsiran Al-qur’an yang terjadi
atau berlangsung di masa nabi dan para sahabat hingga era pasca sahabat,
pada periode ini nalar yang di gunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an
adalah nalar kuasi kritis. Kedua, periode afirmatif, yakni penafsiran
Al-Qur’an yang terjadi pada masa pertengahan islam, yang mendasarkan
penafsiran pada nalar ideologis. Ketiga, periode reformatif, yakni
penafsiran Al-Qur’an yang terjadi pada masa abad modern kontemporer.
Periode ini nalar yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah
nalar kritis.
Berdasarkan ketiga periodesasi yang di paparkan penulis, Rahman dan
Syahrur di kategorikan sebagai Mufassir era modern kontemporer yang
menggunakan nalar kritis dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Kritisisme kedua tokoh ini terlihat jelas dari kritik-kritiknya yang
tajam terhadap produk penafsiran Ulama’ terdahulu yang cenderung
bersifat tekstualis dan dogmatis sehingga menjadikannya tidak lagi
relevan dengan perkembangan zaman. Atas ketidak puasan Rahman dan
Syahrur terhadap model dan produk penafsiran ulama’ terdahulu, keduanya
menawarkan metodologi baru dalam membaca dan menafsirkan Al-Qur’an.
Fazlur Rahman meyakini bahwa Al-Qur’an pasti mampu menjawab problem
kekinian jika di baca dengan pendekatan kontekstual. Menurutnya, jika
Al-Qur’an dipahami secara komprehensif, holistik, dan kontekstual maka
ia akan mampu menjadi solusi alternatif dalam menjawab problem
modernitas. (hal 120).
Untuk menghindari adanya penafsiran parsial dan pemaksaan gagasan non
Qur’ani dalam al-Qur’an Rahman memandang penting dilakukan Rekontruksi
metodologi penafsiran Al-Qur’an. Dalam hal ini, Rahman menawarkan metode
hermeneutika double movement , yaitu proses interpretasi yang
melibatkan gerakan ganda, dari situasi sekarang menuju situasi di mana
Al-Qur’an diturunkan, untuk kemudian kembali lagi ke masa sekarang.( hal
178).
Sementara itu, Muhammad Syahrur menggunakan metode ijtihad yang
populer dengan teori limit atau disebut batas (nazhariah al-hudud).
Dengan teori ini, ayat-ayat Al-Qur’an akan dipahami sebagai
batasan-batasan yang memungkinkan fleksibilitas hukum karena di sutu ada
batas minimal dan batas maksimal. Seorang Mufassir dipersilahkan
melakukan ijtihad secara kreatif dan dinamis seiring dengan putaran
zaman dan tempat dengan syarat ijtihadnya itu masih berada dalam wilayah
hududullah (batasan hukum Allah).
Teori batas Syahrur mempunyai kontribusi besar bagi perkembangan
metodologi penafsiran Al-Qur’an khususnya yang terkait dengan ayat-ayat
hukum. Di antaranya adalah ayat hukum yang selama ini di anggap telah
final dan pasti tanpa ada alternatif pemahaman lain, ternyata mempunyai
kemungkinan untuk diinterpretasikan secara baru. Kemudian mufassir akan
mampu menjaga sakralitas teks, tanpa harus kehilangan kreatifitasnya
dalam melakukan ijtihad untuk membuka kemungkinan interpretasi. (hal
187).
Dengan mencermati model penafsiran Fazlur Rahman dan Muhammad
Syahrur, dapat di katakan bahwa implikasi epistemologi tafsir yang
dikembangkan oleh keduanya adalah bahwa penafsiran Al-Qur’an harus dapat
berperan sebagai agen perubahan sosial. Perubahan itu sendiri antara
lain di awali dengan mengubah sistem teologi yang lebih dinamis, terbuka
dan kritis.
Pandangan penafsiran yang dilakukan Rahman dan Syahrur pada dasarnya
sama, keduanya sepakat bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang akan
selalu kompatibel untuk segala ruang dan waktu. Untuk itu diperlukan
penafsiran atau pembacaan yang kreatif terhadap Al-Qur’an. Sehingga
dapat menemukan pesan-pesan eternal Al-Qur’an secara tepat dan mampu
menjadi solusi yang berkembang di masyarakat terutama dalam permasalahan
sosial keagamaan umat islam di era kontemporer.
Tolak
ukur kebenaran tafsir yang dilakukan Rahman dan Syahrur juga sama.
Pertama bersifat Koherensi, dalam arti bahwa tafsir dapat dikatakan
benar sejauh ada konsistensi logis filosofis antara proposisi-proposisi
yang dinyatakannya, kedua bersifat korespondensi, dalam arti bahwa
produk penafsiran harus sesuai dengan kenyataan empiris di lapangan.
Ketiga, bersifat pragmatis, dalam arti bahwa produk penafsiran dianggap
benar selagi secara fungsional dapat menjadi solusi alternatif bagi
pemecahan problem sosial keagamaan umat islam.(hal. 330).
Buku setebal 366 halaman ini sangat bagus untuk dikaji dan di jadikan
rujukan dalam referensi kajian tafsir kontemporer. Karena, didalamnya
memuat interpretasi tafsir yang di tawarkan oleh tokoh kritis dan
kontroversial. Dengan membaca buku ini akan mendapat pencerahan sehingga
Al-Qur’an akan relevan diterapkan sesuai ruang dan waktu.
Judul buku : Epistemologi Tafsir Kontemporer
Penulis : Dr. Abdul Mustaqim
Penerbit : LKiS
Cetakan : II, 2012
Tebal : xx + 366 halaman
ISBN : 978-979-1283-21-2
Peresensi: M. Hanifan Muslimin, Pegiat CSS MoRA Walisongo, Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar