Senin, 21 Oktober 2013

Membincang Dialektika Tafsir Kontemporer

 Dinamika persoalan interpretasi Al-Qur’an menjadi pembahasan serius di kalangan para Mufassir (Ahli Tafsir). Bahkan mereka seringkali berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Sangatlah wajar bila perbedaan ini terjadi karena situasi dan kondisi yang dialami berbeda.

Menurut para mufassir modern kontemporer yang di butuhkan saat ini adalah model dan metodologi baru dalam pembacaan dan pemahaman atas Al- Qur’an agar kitab suci umat islam ini benar-benar menjadi kitab petunjuk yang akan sentiasa relevan untuk setiap zaman dan tempat serta mampu merespons setiap problem sosial keagamaan yang dihadapi oleh umat manusia. Ini mengandung arti bahwa paradigma pemahaman atas Al-Qur’an harus di geser dan di ubah dari paradigma tekstual menjadi paradigma kontekstual.

Buku yang ditulis oleh Dr. Abdul Mustaqim ini merupakan disertasi yang mengupas model dan metodologi pembacaan dan penafsiran Al-Qur’an yang ditawarkan oleh Fazlurrahman dan Muhammad Syahrur.

Penulis mengawali kajianya dengan memotret perkembangan sejarah tafsir sejak era Nabi hingga era modern kontemporer dengan menggunakan perspektif the history of ideanya Ignaz Goldziher. Dari hasil penelusuran, penulis menemukan fakta bahwa telah terjadi pergeseran paradigma dalam sejarah penafsiran Al-Qur’an yang dapat di petakan menjadi tiga babakan atau periodisasi penafsiran Al-Qur’an dengan basis penalaranya masing-masing.

Pertama, periode formatif, yakni penafsiran Al-qur’an yang terjadi atau berlangsung di masa nabi dan para sahabat hingga era pasca sahabat, pada periode ini nalar yang di gunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah nalar kuasi kritis. Kedua, periode afirmatif, yakni penafsiran Al-Qur’an yang terjadi pada masa pertengahan islam, yang mendasarkan penafsiran pada nalar ideologis. Ketiga, periode reformatif, yakni penafsiran Al-Qur’an yang terjadi pada masa abad modern kontemporer. Periode ini nalar yang digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah nalar kritis.

Berdasarkan ketiga periodesasi yang di paparkan penulis, Rahman dan Syahrur di kategorikan sebagai Mufassir era modern kontemporer yang menggunakan nalar kritis dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Kritisisme kedua tokoh ini terlihat jelas dari kritik-kritiknya yang tajam terhadap produk penafsiran Ulama’ terdahulu yang cenderung bersifat tekstualis dan dogmatis sehingga menjadikannya tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Atas ketidak puasan Rahman dan Syahrur terhadap model dan produk penafsiran ulama’ terdahulu, keduanya menawarkan metodologi baru dalam membaca dan menafsirkan Al-Qur’an.

Fazlur Rahman meyakini bahwa Al-Qur’an pasti mampu menjawab problem kekinian jika di baca dengan pendekatan kontekstual. Menurutnya, jika Al-Qur’an dipahami secara komprehensif, holistik, dan kontekstual maka ia akan mampu menjadi solusi alternatif dalam menjawab problem modernitas. (hal 120).

Untuk menghindari adanya penafsiran parsial dan pemaksaan gagasan non Qur’ani dalam al-Qur’an Rahman memandang penting dilakukan Rekontruksi metodologi penafsiran Al-Qur’an. Dalam hal ini, Rahman menawarkan metode hermeneutika double movement , yaitu proses interpretasi yang melibatkan gerakan ganda, dari situasi sekarang menuju situasi di mana Al-Qur’an diturunkan, untuk kemudian kembali lagi ke masa sekarang.( hal 178).

Sementara itu, Muhammad Syahrur menggunakan metode ijtihad yang populer dengan teori limit atau disebut batas (nazhariah al-hudud). Dengan teori ini, ayat-ayat Al-Qur’an akan dipahami sebagai batasan-batasan yang memungkinkan fleksibilitas hukum karena di sutu ada batas minimal dan batas maksimal. Seorang Mufassir dipersilahkan melakukan ijtihad secara kreatif dan dinamis seiring dengan putaran zaman dan tempat dengan syarat ijtihadnya itu masih berada dalam wilayah hududullah (batasan hukum Allah).

Teori batas Syahrur mempunyai kontribusi besar bagi perkembangan metodologi penafsiran Al-Qur’an khususnya yang terkait dengan ayat-ayat hukum. Di antaranya adalah ayat hukum yang selama ini di anggap telah final dan pasti tanpa ada alternatif pemahaman lain, ternyata mempunyai kemungkinan untuk diinterpretasikan secara baru. Kemudian mufassir akan mampu menjaga sakralitas teks, tanpa harus kehilangan kreatifitasnya dalam melakukan ijtihad untuk membuka kemungkinan interpretasi. (hal 187).

Dengan mencermati model penafsiran Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur, dapat di katakan bahwa implikasi epistemologi tafsir yang dikembangkan oleh keduanya adalah bahwa penafsiran Al-Qur’an harus dapat berperan sebagai agen perubahan sosial. Perubahan itu sendiri antara lain di awali dengan mengubah sistem teologi yang lebih dinamis, terbuka dan kritis.

Pandangan penafsiran yang dilakukan Rahman dan Syahrur pada dasarnya sama, keduanya sepakat bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang akan selalu kompatibel untuk segala ruang dan waktu. Untuk itu diperlukan penafsiran atau pembacaan yang kreatif terhadap Al-Qur’an. Sehingga dapat menemukan pesan-pesan eternal Al-Qur’an secara tepat dan mampu menjadi solusi yang berkembang di masyarakat terutama dalam permasalahan sosial keagamaan umat islam di era kontemporer.



Tolak ukur kebenaran tafsir yang dilakukan Rahman dan Syahrur juga sama. Pertama bersifat Koherensi, dalam arti bahwa tafsir dapat dikatakan benar sejauh ada konsistensi logis filosofis antara proposisi-proposisi yang dinyatakannya, kedua bersifat korespondensi, dalam arti bahwa produk penafsiran harus sesuai dengan kenyataan empiris di lapangan. Ketiga, bersifat pragmatis, dalam arti bahwa produk penafsiran dianggap benar selagi secara fungsional dapat menjadi solusi alternatif bagi pemecahan problem sosial keagamaan umat islam.(hal. 330).

Buku setebal 366 halaman ini sangat bagus untuk dikaji dan di jadikan rujukan dalam referensi kajian tafsir kontemporer. Karena, didalamnya memuat interpretasi tafsir yang di tawarkan oleh tokoh kritis dan kontroversial. Dengan membaca buku ini akan mendapat pencerahan sehingga Al-Qur’an akan relevan diterapkan sesuai ruang dan waktu.


Judul buku : Epistemologi Tafsir Kontemporer
Penulis : Dr. Abdul Mustaqim
Penerbit : LKiS
Cetakan : II, 2012
Tebal : xx + 366 halaman
ISBN : 978-979-1283-21-2
Peresensi: M. Hanifan Muslimin, Pegiat CSS MoRA Walisongo, Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar