Resensi Buku Tafsir
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia mempunyai
karakteristik yang terbuka untuk ditafsirkan. Ini dapat dilihat dalam
realitas sejarah penafsiran al-Qur’an sebagai respon umat islam dalam
upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti atau pun
menoton, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran
zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam
madzhab dan corak dalam penafrsiran al-Qur’an
Lahirnya madzahibut tafsir sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan
sejarah, sebab tiap generasi ingin selalu “mengkonsumsi” dan menjadikan
al-Qur’an sebagai pedoman hidup, bahkan kadang-kadang sebagai legitimasi
bagi tindakan dan prilakunya. Apalagi para mufassir ketika menafsirkan
al-Qur’an tidak bisa lepas dari pengaruh kondisi sosio-kultural dan
situasi politik dimana ia tinggal. Disamping itu, perbedaan
kecenderungan dan disiplin ilmu yang memiliki para mufassir sangat
berpengaruh terhadap hasil penafsiran, aplikasinya memunculkan
pluralitas penafsiran al-Qur’an, dimana pluralitas itu justru
menunjukkan adanya kekayaan khazanah pemikiran umat islam.
Madzahibut Tafsir adalah suatu hasil pemahaman manusia terhadap
Al-qur’an terhadap yang dilakukan dengan menggunakan metode atau
pendekatan tertentu yang diplih oleh seorang mufassir, yang dimaksudkan
untuk memperjelas suatu makna teks ayat-ayat al-Qur’an. Sudah barang
tentu ketika al-Qur’an ditafsirkan dengan menggunakan metode dan
pendekatan tertentu, misalnya pendekatan filsafat, maka akan melahirkan
produk penafsiran yang bercorak filosofis.
Jika al-Qur’an ditafsirkan menggunakan pendekatan sufistik, maka akan
menghasilkan tafsir kental dengan aroma sufistiknya. Dan juga jika
pendekatannya menggunakan analisis gender, maka bias patriakhinya
relative akan sangat minimal dan nuansa kesetaraan gendernya cenderung
akan lebih mengemuka. Dari sinilah muncul aliran-aliran tafsir yang
istilahnya sering disebut dengan madzahib at-tafsir.
Berbicara masalah mdzhab-madzhad tafsir (madzahib at-tafsir) yang
sudah berkembang selama ini, ternyata para ulama berbeda-beda dalam
memetakannya. Ada yang membagi berdasarkan periodisasinya atau kronologi
waktunya, sehingga menjadi madzhab tafsir periode klasik, pertengahan,
modern atau kontemporer. Ada pula yang berdasarkan kecenderungannya,
sehingga muncul madzhab teologi mufassirnya, sehingga muncul istilah
tafsir sunni, mu’tazili, syi’i, dan lain sebagainya. Ada pula yang
melihat dari sisi perspektif atau pendekatan yang dipakainya, sehingga
muncul istyilah tafsir sufi, falsafi, fiqhi, ‘ilmi, adabi al-ijtima’i
dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang melihat dari perkembangan
pemikiran manusia, sehingga mazhab tafsir itu dapat dipetakan menjadi
mazhab tafsir periode mitologis, ideologis dan ilmiah.
Pembagian madzhab penafsiran menjadi tiga periode yaitu, klasik, pertengahan dan kontemporer agaknya didasarkan atas episteme
dan paradigma yang mendasari masing-masing periode tersebut. Hal ini
mengisyaratkan bahwa system dan pola penafsiran masing-masing periode
itu tidak lepas dari perkembangan pemikiran manusia.
Pada periode klasik penafsiran atas al-Qur’an cenderung bersifat
mistis artinya disitu tidak ada kritisisme dalam menerima sebuah tafsir.
Jadi, seolah-olah tafsir Nabi dan para sahabat diterima begitu saja
hingga nyaris tanpa kritis. Sementara tafsir pada periode pertengahan
sebagai kelanjutan periode sebelumnya, meski sudah ada sedikit nuansa
kritisisme, namun masih menunjukkan wajah yang ideologis, sebab disitu
pembelaan terhadap madzhab yang dianut oleh mufassirnya yang sangat
kental mewarnai tafsirnya. Artinya tafsir-tafsir yang muncul pada masa
abad pertengahan sarat dengan kepentingan-kepentingan ideologis dan
politik. Berbeda dengan tafsir yang muncul pada periode kontemporer
dimana penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an memiliki kecenderungan
ilmiah dan sudah diwarnai oleh pendekatan hermeneutis lebih bersifat
kritis filosofis.
Pada masa madzahibut tafsir periode klasik, yaitu pada masa nabi dan
sahabat serta tabi’in. Dapat dikatakan bahwa pertumbuhan tafsir itu
sejak al-Qur’an itu sendiri diturunkan. Sebab begitu al-Qur’an
diturunkan kepada manusia, sejak itu pula beliau melakukan tafsir dalam
pengertian yang sederhana, yakni memahami dan menjelaskannya kepada para
sahabat. Setelah beliau kembali ke haribaan Allah, maka para sahabat
beliau yang mendalami Kitabullah dan yang telah menerima tuntunan serta
petunjuk dari beliau. Mereka terpanggil untuk ambil bagian dalam
menjelaskan dan menerangkan dan menjelaskan apa saja yang mereka ketahui
dan mereka pahami mengenai al-Qur’an.
Tafsir sahabat dianggap berakhir dengan meninggalnya tokoh-tokoh
sahabat yang dulunya menjadi guru dari para tabi’in dan digantikan
dengan tafsir tabi’in. Penafsiran Rasulullah dan para sahabat yang telah
mencakup semua ayat al-Qur’an dan hanya menafsirkan bagian-bagian yang
sulit dipahami orang-orang yang semasa
Referensi :
1. Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, Yogyakarta, Kreasi Wacana,2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar